Infrastruktur
cloud computing menggunakan teknologi virtualisasi yang dibangun berbasis
server cluster dan memiliki relasi dengan grid computing dan utility computing
yang digunakan untuk berkompetisi dengan dedicated server dan collocation.
Utility computing adalah suatu model
bisnis penyediaan aplikasi sumber daya infrastruktur IT kuhususnya berkaitan
dengan ‘price model”. Utility computing sering menggunakan infrastuktur cloud
computing tetapi tidak harus
Sayangnya,
produk semacam ini masih sulit ditawarkan. Pasalnya, sebagian besar pengguna
kini mengerjakan tugas-tugas komputasinya dengan cara hybrid, yaitu outsourcing
sekaligus utility computing. Alasannya? Mungkin CIO-nya khawatir akan
kehilangan kendali atas sistem TI perusahaanya, karena alih-alih memiliki
sistemnya, ia menyewa atau meminjam resources dari pihak lain. Orang lain
mungkin akan mengkhawatirkan risiko security yang akan dihadapi ketika
memindahkan data-data penting ke mesin orang lain. Selain itu, pembayaran
dengan cara charge-by-use sedikit banyak juga menyulitkan bagi si pengguna.
IBM, salah satu vendor
utama utility computing pernah mengatakan bahwa mereka menginvestasikan sekitar
10 milyar dolar untuk inisiatif seperti ini. Katanya, ini pun sebagian besar
untuk “mengedukasi” para manajer di seluruh jagad TI mengenai betapa
menjanjikannya sistem ini. Namun pertanyaannya, apakah utility computing ini
bakal menjadi senjata pamungkas untuk mengatasi masalah komputasi yang dihadapi
sekarang? Bisa jadi, ya.
Boleh dibilang
utility computing sama halnya dengan kita menggunakan listrik dari PLN
misalnya. Berapa KWh listrik yang dipakai, itulah yang kita bayar. Utility
computing juga seperti itu, berapa besar computing power yang kita gunakan,
itulah yang kita bayar.
Dewasa ini,
para pemain besar sudah ramai-ramai menawarkan utility computing ini. Misalnya
IBM dengan On-Demand Computing-nya atau turunannya, seperti eBusiness on
Demand. Belum lagi para pemain besar yang menawarkan produk sejenis, namun
dengan istilah berbeda. Jadi, jangan kaget bilamana sekarang ini akan lebih
sering mendengar jargon-jargon yang terkait dengan utility computing.
Nah, supaya
tidak bingung, dan mengerti apa yang Anda sesungguhnya butuhkan, Anda sebaiknya
berpatokan pada tiga hal yang dijanjikan utility computing (yang mudah-mudahan
bisa terwujud):
•
Menyederhanakan IT dengan mengurangi kompleksitas
• Mengubah IT
dari fixed cost menjadi variable cost
• Memangkas
biang dari segala cost, yaitu operating expenses
Mengapa ada utility
computing?
Bagi IT enterprise
sekarang ini, overcapacity boleh dibilang menjadi sesuatu yang menakutkan.
Tidak heran, karena sekarang ini memang jamannya efisiensi, optimalisasi
infrastruktur TI, tetapi dengan spending yang sekecil mungkin. Bahkan, lama
kelamaan efisiensi ini memiliki arti selektif, alihdayakan beberapa aspek dari
beban kerja sistem TI perusahaan guna pengelolaan resource secara lebih baik,
memenuhi kebutuhan bisnis baru secara lebih terjangkau, serta “memeras” kinerja
dan IT output setinggi mungkin untuk memberikan business value lebih banyak.
Kalangan
perusahaan pun sepertinya sependapat, bahwa asset-based IT tidak lagi merupakan
pilihan realistis untuk bisnis masa kini. Berbagai perusahaan akan terus
mencari cara untuk mengurangi IT risk dan cost yang terkait dengan kapasitas TI
yang berlebihan. Selain itu, perusahaan masa kini juga menginginkan bisa
mengubah skala infrastruktur TI-nya secara cepat, apakah itu memperbesar atau
memperkecil. Singkatnya, TI lebih dilihat sebagai suatu layanan dan akses, bukan
lagi sekedar hard assets.
Di sisi lain,
vendor-vendor TI besar dan para analis industri mendukung model TI baru ini.
Mereka melihat hal ini sebagai peluang untuk meningkatkan produktivitas dan
cost-efficiency dalam TI, tak tergantung jenis dan ukuran perusahaan. Mereka
juga mendefinisikan model TI baru ini dengan bahasa sederhana, yaitu
menyediakan computing resources sebagaimana perusahaan listrik menyediakan
listrik bagi pelanggannya.
Dari sisi
vendor, menerapkan model TI baru ini berarti menerapkan lingkungan
infrastruktur TI yang dapat berbagi di hosting center mereka. Ini meliputi
aplikasi-aplikasi perangkat lunak, yang penggunaannya akan tercatat untuk
kepentingan billing-nya. Kesannya memang mirip model ASP (application service
provider), tetapi para vendor besar berdalih bahwa utility computing lebih luas
dari itu.
Misalnya,
perusahaan dapat memesan server atau kapasitas storage untuk mengantisipasi
lonjakan demand. Namun, argonya baru jalan setelah extra resources ini
diaktifkan. Dus, si customer bisa menikmati berbagai jenis shared
infrastructure, mulai dari storage, database sampai Web server. Jadi, bukan
sekedar alihdaya aplikasi tertentu saja.
Siapa saja pemainnya?
IBM, HP dan
Sun boleh dibilang kini terdepan dalam inisiatif utility computing ini. Hanya
saja, mereka menyebut utility computing ini dengan istilahnya masing-masing.
IBM, misalnya, menawarkannya dengan istilah On-Demand Computing. Kemudian HP
menyebutnya sebagai Utility Data Center (UDC), dan Sun cukup menamakannya
dengan sebutan singkat, N1.
Secara
prinsip, yang ditawarkan para pemain besar ini sama saja. Inisiatif N1 dari Sun
misalnya adalah menjadikan server, storage dan network bisa saling bekerjasama
dengan baik membentuk semacam data center virtual. Maksudnya, menghimpun
berbagai server dan storage systems yang tersebar menjadi satu super-server
tunggal. Begitu juga halnya dengan inisiatif utility computing yang
dikembangkan IBM atau HP. Bahkan, IBM mengembangkan inisiatif lain untuk
mendukung penerapan utility computing ini, yaitu Autonomic Computing, yang
memungkinkan server raksasa mendiagnosa dan memperbaiki dirinya sendiri.
Inisiatif ini juga ditawarkan HP, namun dengan istilah yang berbeda, yaitu
Adaptive Infrastructure.
Masa depan utility
computing
Banyak pakar
mengatakan bahwa “gerakan utility computing” ini selaras dengan konsep grid
computing dan Web services, yang kini juga tengah digembar-gemborkan. Dengan
grid computing, storage, database dan aplikasi tersedia bagi customer untuk
diakses secara on-demand melalui berbagai jejaring yang membentuk satu sistem
komputer virtual yang besar.
Bagaimana dengan peran Web services di sini? Web services, sebagaimana
dijanjikannya, akan memungkinkan perusahaan menginterkoneksikan sistem-sistem
piranti lunaknya dengan lebih cepat dan murah, melalui metoda-metoda otomasi
berbasis XML (eXtensible Markup Language). Tujuannya, supaya perusahaan bisa
memanfaatkan computing resources yang sudah ada dengan lebih baik, dan mencapai
tingkat produktivitas lebih tinggi dengan mengotomasikan proses-proses dengan
partner maupun customer-ya.
Memang,
menurut para analis, untuk mencapai tingkat kolaborasi semacam ini masih lama.
Tapi jangan salah, berbagai inisiatif utility computing ini mulai gencar
diperkenalkan oleh para vendornya. IBM, misalnya, cukup aktif memperkenalkan
inisiatif ini di negara-negara Asia Tenggara. Di Thailand misalnya, IBM
menawarkan eBusiness on demand ke pemerintah negara gajah putih itu untuk
mendorong penerapan e-government. Dengan inisiatif tersebut, departemen
pemerintahan bisa terintegrasi secara end-to-end, begitu pula dengan para
rekanan, supplier dan, tentunya, masyarakat umum. Dengan cara ini,
sektor-sektor publik dapat merespon dengan cepat dan lincah untuk memenuhi tuntutan
layanan dari masyarakat.
Nah, utility
computing sudah hadir di hadapan Anda. Apakah Anda akan menjadi penonton dulu,
melihat-lihat dulu seperti apa dampaknya pada perusahaan lain, atau terjun
langsung dalam bahtera utility computing? Kebutuhan perusahaan Anda jualah yang
akan menjawabnya.